Judul Buku: Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan
Novel Terjemahan dari judul asli Wanasitu Anni Imra'ah
Penulis: Ihsan Abdul Quddus
Penerjemah: Syahid Widi Nugroho
Cetakan 1, April 2012
Penerbit: Pustaka Alvabet
Tebal: 228 Halaman
Menceritakan tentang seorang perempuan dengan segala ambisi dan kerja kerasnya sebagai seorang politisi sukses, keikutsertaannya pada parlemen dan berbagai organisasi pergerakan perempuan hingga menempatkan dirinya pada lingkaran orang para penguasa. Tidak hanya itu, dia juga berhasil meraih gelar doktor dan menjadi dosen yang disegani di universitas. Latar belakang keadaan Mesir kala itu yang masih konservatif menjadikannya fenomena baru dalam isu kesadaran akan kesetaraan jender.
Akan tetapi, perempuan tetaplah perempuan, yang memiliki kodrat dan keinginan untuk dimanjakan dan disayangi. Mengalami gagal dalam pernikahan pertamanya dikarenakan ego nya akan kesenangan, kebahagiaan dan keinginan akan disanjung karena pidato dan pendapatnya yang memukau banyak mahasiswa ataupun rakyat pendukungnya, menjadikan ia seringkali beradu pendapat dengan sang suami yang sejatinya ingin diberikan perlakuan layaknya seorang suami, imam dan kepala rumah tangga.
Bertahun-tahun hidup sendiri nyatanya menjadikan kehampaan menyelimuti kehidupan pribadinya dan hampir membuat jiwanya tercerabut. Masalah demi masalah mendera, bahkan anak semata wayangnya yang dia anggap sebagai harta paling berharga justru lebih akrab dengan sang ibu tiri.
Doktor Suad, seorang perempuan tangguh yang menjadi fenomena untuk gerakan penyetaraan gender, dengan kecerdasannya mampu meraih gelar doktor dan menjadi petinggi parlemen, seorang dosen dan seorang politisi. Tapi kebutuhan dan kesadarannya akan hidup berpasangan membuatnya akhirnya menikah untuk yang kedua kalinya dengan teman masa kecilnya yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Sayangnya, perbedaan pendapat, pandangan hidup, dan pola pikir yang ternyata begitu sulit untuk dipersatukan, berbagai macam masalah datang silih berganti, keadaan yang tak bisa disatulan dari keduanya untuk berbaur dilingkungan satu sama lain menjadikan pernikahan kedua Doktor Suad ini sering mengalami perselisihan. Hingga akhirnya setelah 5 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, pernikahan keduanya ini kembali kandas.
Perceraian keduanya ternyata menjadikan doktor Suad sadar akan dirinya yang sendiri dan kesepian. Tapi, dia menyadari betul bahwa hanya dirinyalah yang sepantasnya merasakan hal ini, tidak dengan putri semata wayangnya.
Setelah usianya 50 tahun, doktor Suad pun memutuskan untuk menikmati hidup seperti yang dia tekuni sedari dulu. Sibuk dengan kegiatannya sebagai aktifis organisasi, anggota parlemen, dan dosen. Hingga akhirnya ia mengesampingkan naluri kebutuhannya akan pasangan hidup, dan lupa bahwa ia adalah perempuan.
Novel Terjemahan dari judul asli Wanasitu Anni Imra'ah
Penulis: Ihsan Abdul Quddus
Penerjemah: Syahid Widi Nugroho
Cetakan 1, April 2012
Penerbit: Pustaka Alvabet
Tebal: 228 Halaman
Menceritakan tentang seorang perempuan dengan segala ambisi dan kerja kerasnya sebagai seorang politisi sukses, keikutsertaannya pada parlemen dan berbagai organisasi pergerakan perempuan hingga menempatkan dirinya pada lingkaran orang para penguasa. Tidak hanya itu, dia juga berhasil meraih gelar doktor dan menjadi dosen yang disegani di universitas. Latar belakang keadaan Mesir kala itu yang masih konservatif menjadikannya fenomena baru dalam isu kesadaran akan kesetaraan jender.
Akan tetapi, perempuan tetaplah perempuan, yang memiliki kodrat dan keinginan untuk dimanjakan dan disayangi. Mengalami gagal dalam pernikahan pertamanya dikarenakan ego nya akan kesenangan, kebahagiaan dan keinginan akan disanjung karena pidato dan pendapatnya yang memukau banyak mahasiswa ataupun rakyat pendukungnya, menjadikan ia seringkali beradu pendapat dengan sang suami yang sejatinya ingin diberikan perlakuan layaknya seorang suami, imam dan kepala rumah tangga.
Bertahun-tahun hidup sendiri nyatanya menjadikan kehampaan menyelimuti kehidupan pribadinya dan hampir membuat jiwanya tercerabut. Masalah demi masalah mendera, bahkan anak semata wayangnya yang dia anggap sebagai harta paling berharga justru lebih akrab dengan sang ibu tiri.
Doktor Suad, seorang perempuan tangguh yang menjadi fenomena untuk gerakan penyetaraan gender, dengan kecerdasannya mampu meraih gelar doktor dan menjadi petinggi parlemen, seorang dosen dan seorang politisi. Tapi kebutuhan dan kesadarannya akan hidup berpasangan membuatnya akhirnya menikah untuk yang kedua kalinya dengan teman masa kecilnya yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Sayangnya, perbedaan pendapat, pandangan hidup, dan pola pikir yang ternyata begitu sulit untuk dipersatukan, berbagai macam masalah datang silih berganti, keadaan yang tak bisa disatulan dari keduanya untuk berbaur dilingkungan satu sama lain menjadikan pernikahan kedua Doktor Suad ini sering mengalami perselisihan. Hingga akhirnya setelah 5 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, pernikahan keduanya ini kembali kandas.
Perceraian keduanya ternyata menjadikan doktor Suad sadar akan dirinya yang sendiri dan kesepian. Tapi, dia menyadari betul bahwa hanya dirinyalah yang sepantasnya merasakan hal ini, tidak dengan putri semata wayangnya.
Setelah usianya 50 tahun, doktor Suad pun memutuskan untuk menikmati hidup seperti yang dia tekuni sedari dulu. Sibuk dengan kegiatannya sebagai aktifis organisasi, anggota parlemen, dan dosen. Hingga akhirnya ia mengesampingkan naluri kebutuhannya akan pasangan hidup, dan lupa bahwa ia adalah perempuan.
Komentar
Posting Komentar